
Kabarpatimu.com – Pati, Ahad pagi, 24 Agustus 2025. Ruang kopdar SUMU Pati belum sepenuhnya penuh ketika H. Yoyok mengambil tempat duduk di hadapan mikrofon. Senyumnya sederhana, sapanya hangat. “Yang pertama terlintas saat mendengar kata lensa adalah peluang,” ujarnya pelan. Kalimat itu seperti kunci yang membuka perjalanan panjangdari emperan kaki lima hingga menjadi salah satu jaringan optik terbesar di eks-Karesidenan Pati.
Rumah sederhana, mimpi yang keras kepala
Masa kecil H. Yoyok tidak diisi modal, melainkan tekad. Ibunya pembuat getuk, ayahnya buruh tani. Keterdesakan ekonomi menuntunnya pada pilihan yang tak romantis: berjualan kacamata di kaki lima. “Kami memulai dari nol,” katanya. Di tengah riuh pasar dan cuaca yang tak menentu, ia belajar satu hal penting—bahwa pelanggan harus diperlakukan sebagai manusia, bukan sekadar transaksi.
Tahun 1995 menjadi penanda langkah besar. H. Yoyok mengurus izin optik. Bukan hanya formalitas, melainkan deklarasi diri: bisnis ini harus bertumbuh, tertata, dan berumur panjang.
“Tidak ada kamus menyerah”
Perjalanan pengusaha jarang lurus. Ada hari-hari ketika napas pendek, uang menipis, dan persaingan terasa menjerat. Namun H. Yoyok menolak menulis kata “menyerah” di kamus hidupnya. “Semua harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh,” tegasnya. Saat letih menghampiri, ia punya alasan untuk bangkit: keinginan membahagiakan orang tua.
“Ketika lelah, saya teringat wajah orang tua. Itu yang membuat saya berdiri lagi,” ucapnya. Di atas semua strategi, ia meletakkan satu kunci yang tidak terlihat di neraca keuangan: doa orang tua. “Sebelum bicara kerja keras atau inovasi, kunci sukses paling utama adalah doa orang tua. Itu sumber kekuatan dan keberkahan.”
Menjadi “yang terbaik di antara yang terbaik”
Di pasar optik yang padat, H. Yoyok memilih jalur jelas: standar layanan harus unggul, infrastruktur harus rapi, peralatan selalu diperbarui. “Targetnya sederhana: menjadi yang terbaik di antara yang terbaik.” Bagi dirinya, kualitas bukan jargon; itu investasi yang dibayar lunas oleh kepercayaan pelanggan.
Kepercayaan itulah yang kemudian disiram setiap hari dengan pelayanan kekeluargaan. “Semua staf harus menganggap pelanggan seperti keluarga—dengan perhatian lebih,” tuturnya. Di toko, sapaan personal lebih efektif dari spanduk diskon; perhatian sungguh-sungguh lebih membekas dibanding promosi kilat.
Integritas pemimpin, kesejahteraan tim
Dalam ruang kerja H. Yoyok, kepemimpinan berarti menjadi teladan. “Pemimpin harus memberi contoh dalam bekerja,” katanya. Keteladanan itu berdampingan dengan kesejahteraan dan apresiasi karyawan. Loyalitas tidak pernah diminta; ia lahir dari rasa aman, dihargai, dan kesempatan bertumbuh.
Hasilnya adalah budaya kerja yang tahan banting: tim yang bukan hanya menguasai lensa, namun juga melihat manusia di balik lensa itu, pelanggan dengan cerita dan kebutuhan yang berbeda.
Jejak untuk masyarakat
Ketika banyak pengusaha memimpikan bilik piala dan pencapaian pribadi, H. Yoyok menyebut warisan yang lain: kontribusi. “Saya ingin dikenang sebagai pemilik bisnis yang berkontribusi kepada masyarakat,” ucapnya. Kontribusi itu hadir dalam bentuk lapangan kerja, layanan yang memudahkan, dan contoh bahwa keterbatasan bisa dikalahkan oleh kerja keras, nilai, dan doa.
Epilog: pelajaran dari sepasang tangan
Kisah H. Yoyok bukan sekadar kronik usaha. Ini memoar tentang dua pasang tangan: tangan orang tua yang menengadah memanjatkan doa, dan tangan anak yang bekerja tanpa lelah demi membalasnya. Di antara keduanya, ada lensa, sebuah benda kecil yang menguatkan pandangannya pada peluang, manusia, dan masa depan.
Di penghujung sesi, ia merangkum perjalanan panjang itu dalam satu garis tegas: menjadi legenda bukan perkara besar suaranya, melainkan panjang nafasnya, didorong cinta pada orang tua, ditopang integritas, dan dirawat pelayanan yang tulus.(dd)


